Kurang lebih sudah 1.5 bulan saya tinggal di Perancis untuk menempuh studi di jenjang Master bidang Pengajaran bahasa Perancis dan Inggris sebagai bahasa Asing di Universitas Montpellier di Montpellier Perancis. Pada umumnya, kuliah di Perancis yang menuntut mahasiswa asing yang khususnya berasal dari negara non-francophone (bukan dari negara dimana bahasa Perancis adalah bahasa utama atau kedua) untuk memenuhi tingkat kemampuan bahasa Perancis pada tingkat minimum B2 (Menengah-lanjut) ini terbilang bukanlah suatu hal yang baru di negara ini dan memang sudah menjadi ‘mahar’ utama untuk meminang calon kampus dambaan di berbagai wilayah Perancis, kecuali pada beberapa kampus swasta.
Montpellier, kota yang terletak di selatan Perancis dengan julukan 300 jours de soleils par an (300 hari dibawah terik matahari per tahun) ini merupakan kota yang berkembang dengan pesat dan kaya akan keragaman budaya dan agama. Sehari-hari sangat mudah menemukan pemeluk muslim yang lalu lalang di berbagai sudut kota dan didalam tram (transportasi umum seperti kereta listrik). Memang, Perancis dikenal sebagai negara yang memiliki nilai Laïcité atau sekuler dan banyak isu-isu pertentangan agama yang beredar yang mungkin dapat membuat sebagian orang was was untuk berangkat dan hidup disini untuk mempraktekkan nilai-nilai agamanya pada tempatnya. Namun pada kenyataannya, banyak kakak-kakak atau adik-adik hingga ibu-ibu yang berjilbab yang lalu lalang dengan bebas disini serta berbaur dengan masyarakat lainnya tanpa ada diskriminasi. Sering juga saya jumpai mereka yang mayoritasnya berasal dari Maroko dan Algeria ini berbincang-bincang bebas dengan bahasa arab fushah atau ammiyah di ruang publik tanpa ada kecaman maupun sindiran.
Terkait mengenai kehidupan beribadah dan budaya muslim disini, sangat mudah menemukan masjid/ madrasah disekitar kota ini, setidaknya tidak sesulit yang saya bayangkan sebelumnya. Dikarenakan mayoritas muslim yang berasal dari wilayah Maghreb (Maroko, Algeria, Tunisia), khutbah jum’at dilaksanakan dengan bahasa Arab. Selain itu, dapat kita temukan juga budaya persaudaraan mereka setelah shalat jum’at, seperti makan couscous bersama di satu wadah besar sambil bersalam sapa setelah usai ibadah jum’at. Jadi, tidaklah heran jika setiap berada pada momen ini, kesan utama yang saya rasakan adalah seperti sedang berada di “Arab”.
[Suasana usai shalat jum'at di Montpellier]
Sedangkan untuk soal perut, makanan halal juga sangat mudah dijumpai di kota yang saya huni. Salah satu hal unik diluar dugaan saya sebelumnya, yaitu adanya ‘Pasar Arab’, yaitu pasar yang dipenuhi oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Maroko, Algeria dan Tunisia serta mayoritas pembelinya yang juga berasal/ keturunan dari negara yang sama. Ketika berada disini kita akan banyak melihat wanita-wanita berhijab, laki-laki mengenakan “pakaian muslim” serta mendengar budaya tawar-menawar dengan bahasa Arab yang saya tidak mengerti sama sekali walau saya sebenarnya juga alumni bahasa dan sastra Arab. Jadi, tidaklah heran jika ketika berada disini lagi-lagi saya merasa seperti sedang di “Arab”.
Masih mengenai status keagamaan. Sebelumnya saya berpikiran bahwa haram mutlak hukumnya untuk menanyakan status agama seseorang di negara ini. Namun, tak jarang dísela-sela perkenalan saya dengan seseorang, tepatnya ketika saya menyebutkan bahwa saya berasal dari Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Muslim, saya ditanyakan “Alors tu es Musulman?” yang berarti “Kamu seorang muslim?”. Bahkan juga seseorang dari Maroko yang menebak langsung status agama saya dari nama saya yang lumayan “pasaran” di Maroko. Namun, bukan hanya dari kenalan yang muslim, tapi juga seseorang kenalan lainnya yang beragama kristen yang baru saya kenal di jalanan pun pernah menanyakan hal tersebut dengan ramah dan tertarik untuk mengetahui yang halal dan haram dalam ajaran Islam (Tertarik mempelajari pengetahuan keislaman bukan berarti ia berminat masuk Islam).
Kembali ke pembahasan tentang atribut keagaman, singkatnya, disini pemakaian jilbab tidak dilarang untuk dikenakan di sekolah hingga universitas, kecuali mungkin untuk beberapa akademi tertentu. Akan tetapi, berdasarkan dari informasi yang saya peroleh dari kenalan lainnya disini, pemakaian atribut agama dilarang untuk dikenakan di tempat kerja. Sedangkan bagi laki-laki, konservasi jenggot sama sekali tidak dilarang. Hal ini sesuai dengan pengalaman saya dari mengurus visa, tiba di bandara Charles de Gaulle Paris, hingga sekarang ini. Dengan kata lain, tidak pernah ada yang menyinggung tentang hal tersebut, apalagi menduga bahwa yang jenggotan identik dengan Muslim anti agama lain atau bahkan seorang mantan atau calon bakal jenderal teroris.
[Wanita bebas lalu lalang dengan jilbab/kerudung]
Untuk pembahasan lainnya, yakni mengenai hari libur. Sebelumnya, saya sering mendengar bahwa Indonesia kebanyakan hari liburnya. Namun pada kenyataannya, hari libur nasional disini tidak kalah banyaknya dari negara kita. Sejak saya tinggal disini dari bulan Oktober hingga sekarang, terhitung bahwa hari libur disini mengungguli hari libur yang ada di Indonesia pada waktu yang sama.
Sebagai penutup, saya tidak memaparkan kesimpulan, karena kesimpulannya ada pada diri anda masing-masing. Wassalam.
keren
BalasHapusTeurimong geunaseh Nanda. Sukses di Malaysia !
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus